
Islam adalah sistem, aturan hidup dan
kehidupan yang benar (dinul haq).
Islam mengatur seluluh kehidupan manusia. Islam pun membawa hukum-hukum tentang
aqidah dan ibadah agar manusia membawa hukum-hukum tentang makan, minum,
pakaian dan akhlaq agar manusia tertib dalam mengkonsumsi makanan tubuhnya, dan
tertib pula dalam menyempurnakan penampilannya dengan sifat-sifat terpuji dan
mulia (akhlakul karimah).
Dalam mengatur hubungan pribadi manusia
dengan pribadi-pribadi yang lain , Islam membawa hukum-hukum tentang mu’amalat
dan uqubat agar manusia tertib dalam melakukan interaksi sesama manusia dalam
bidang ekonomi maupun sosial, saling ridlo dan tidak menzhalimi satu sama lain.
Oleh karenanya, pantaslah bahwa Allahg
SWT menyebut kesempurnaan agama ini sebagai nikmat yang dikaruniakan oleh-Nya.
“Pada hari ini
telah Kusempurnakan untuk kalian sestem (aturan hidup) kalian dan telah
Kucukupkan kepada kalian ni’mat Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi aturan
hidup kalian” (QS. Al-Maidah:3)
Juga Allah SAWT menyebut risalah
pandangan hidup dan hukum yang dibawa oleh Rasulullah sa, sebagai rahmat-Nya
untuk sekalian alam
“Dan tidaklah
Kami mengutus kaamu (Muhammad) untuk (menjadi) rahmat (kasih sayang) bagi
semesta alam” (QS . al-Anbiya: 107)
Dan alQur’an sebagai obat penawar bagi
berbagai penyakit yang muncul dalam kehidupan makhluk manusia. Baik dalam
kesendiriannya maupun dalam interaksinya dengan sesama. Juga secara khusus
disebut sebagai rahmat bagi orang-orang
yang membenarkannya atau mengimaninya. Allah SWT berfirman:
“Dan Kami
turunkan dari (isi kandungan) alQur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman” (QS. Al-Isra: 82)
Untuk menerapkan dan menjalankan seluruh
aturan Ilahi tersebut, dan menjaga agar kehidupan masyarakat senantiasa dalam
koridor perintah dan larangan Allah SWT, Islam mensyari’atkan ‘negara’ yang
telah dicontohkan dalam sunnah Nabi Muhammad saw dan para khulapaaurraasyidiin
sepeninggalan Beliau saw. Negaralah yang memutuskan perkara perselisihan yang
terjadi dalam interaksi antara individu di masyarakat dengan hukum yang
diturunkan Allah SWT.
Allah berfirman;
“Dan Kami telah
turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa (hukum,
aturan, ketetapan) yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah
perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kalian mengikuti
hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu”. (QS. Al-Maidah; 48).
Serian (khitab) untuk memutuskan perkara
dengan menggunakan hukum Allah SWT (syari’at Islam) dalam ayat tersebut adalah
untuk Rasulullah saw. Menurut kaidah syara’, “seruan untuk Rasul itu pada dasarnya adalah seruan untuk ummatnya juga,
selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa seruan itu ditunjukkan khusus
untuk beliau saw.”
Dalam ayat tersebut tidak ada qarinah
(pertanda) yang menghususkan bahwa firman Allah SWT dalam ayat itu khusus untuk
Rasulullah saw. Oleh karenanya, tuntutan tresebut berlaku bagi seluruh kaum
muslim, sehingga menjadi kewajiban untuk mendirikan pemerintahan untuk
memutuskan berbagai perkara perselisihan di masyarakat dengan hukum syari’at
Islam (an-Nabhani dalam Sistem
Khilafah hal 2).
Nabi Muhammad saw juga menegaskan bahwa
setelah beliau wafat, tampuk pemerintahan dan daulah Islamiyah yang beliau dirikan di kota Madinah adalah
dipeghang oleh para khalifah
pengganti beliau saw.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
dari Abi Hazim bahwa dia pernah mendengar Abu Hurairah ra mengatakan bahwa Nabi
Muhammad saw, bersabda;
“Dahulu Bani
Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap kali
seorang nabi meninggal, diganti oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan
ada nabi lagi sesudahku. (Tetap) nanti akan ada banyak khalifah”. (HR. Imam Muslim).
Pilar-pilar
Sistem Pemerintahan Islam
Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani,
dalam kitabnya Nizhamul Hukm Fil Islam
hal 38, ada empat pilar dalam sistem
pemerintahan islam
1. Kedaulatan ditangan syara’
2. Kekuasaan ditangan ummat
3. Mengangkat satu khalifah, bagi seluruh kaum
muslim, hukumnya wajib
4. Khalifah adalah satu-satunya pihak yang berhak
mentabanni (mengadopsi) hukum-hukum syara’ untuk diberlakukan sebagai
undang-undang.
1. Kedaulatan ditangan syara’
Sistem pemerintahan Islam sangat berbeda
dengan sistem demokrasi dan sistem-sistem lain diluar ajaran Islam. Dalam
Islam, kedaulatan (siyaddah) ditangan syara’; yakni yang berhak menentukan
penilaian baik buruk, benar salah, halal haram atau wajib tidaknya sesuatu
dikerjakan atau terlarang, adalah hukum syara (syari’at Allah) saja. Akal
kebiasaan, tradisi maupun adat-istiadat, apalagi hawa nafsu, tidaklah berhak
untuk ikut menentukan penilaian baik
buruk atau boleh tidaknya suatu tindakan atau perbuatan dikerjakan.
Dalam QS. An-Nisa: 65 Allah berfirman;
“Maka demi
Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya”.
“Hai orang-orang
yang (mengaku diri) beriman, ta’atlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, juga
terhadap ulil amri diantara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat
tentang sesuatu (urusan), maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan
Rasul (sunnahnya)*, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itulah lebih utama (bagi kalian) an lebih baik
akibatnya”. (QS. An-Nisa: 59)
*yakni kepada syara’. Oleh karenanya,
yang berkuasa di tengah-tengah ummat dan individu warga negara dan
mengendalikan aspirasi seluruh warga adalah syari’at yang dibawa Rasulullah saw
dimana ummat serta siapapun warga tunduk kepada hukum-hukum syara’. Oleh karena
itu Kedaulatan ada di tangan Syara’.
2. Kekuasaan ditangan ummat
Dalam sistem
pemerintahan Islam, seorang khalifah memperoleh keduddukan dan kekuasaan
setelah dibai’at oleh ummat. Dalil bahwa syara’ telah menjadikan pengangkatan
khalifah oleh ummat sangatlah tegas dalam hadits-hadits tentang bai’at.
Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Ubadah bin As-Shamit,
yang berkata:
“Kami
telah membai’at Rasulullah saw untuk setia mendengarkan dan menta’ati
perintahnya baik dalam keadaan susah maupun mudah, baik dalam keadaan yang kami
senangi maupun tidak kami senangi”. (HR. Muslim).
Juga sebuah
hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Ada
tiga orang yang pada hari kiamat nanti Allah SWT tidak akan mengajaknya
berbicara dan tidak akan mensucikannya… dan seseorang yang membai’at seorang imam (khalifah) lantaran ada maksud
duniawi. Jika kalifah itu memberikan apa yang dia inginkan, ia tetap setia
memenuhi bai’atnya. Namun bila apa yang diinginkan tidak diperolehnya, dia
tidak lagi setia memenuhi bai’atnya”. (HR. Imam
Bukhari dan Muslim)
Jadi, bai’atlah satu satunya metode
perpindahan kekuasaan dari ummat ke khalifah.
Tidak penting
proses dan prosedur teknis menuju perbai’atan tersebut, apakah melalui pemilu
seperti yang kita kenal sekarang ini, untuk mengambil suara seluruh kaum
muslimin, pemilihan oleh para anggota majlis ummat yasng merupakan representasi
ummat, ataukah oleh sekelompok tokoh ummat yang terpercaya (ahlul haali wal aqdi). Sedangkan yang mengesahkannya pada jabatan
khalifah itu adalah ijab qabul dalam
akad khalifah, dimana ummat memberikan kekuasaan dan kesetiaan (ijab) dengan
ridha dan tanpa ada paksaan, dan dia (yang dijadikan khalifah) pun menerimanya
(qabul) secara sukarela.
Bai’at yang
deiberikan dengan sukarela oleh ummat inilah yang secara esensial menunjukkan
bahwa kekuasaan (assulthan/authority)
ditangan ummat.
Salah satu
contoh, saat pergantian khalifah dari Umar bin Khaththab ra, yang telah wafat
kepada khalifah Utsman bin Affan ra. Panitia pemilihan khalifah; Abdurrahmnan
bin Auf ra mendapatkan mayoritas suara penduduk kota Madinah (ibukota khilafah
Islamiyyah) cenderung kepada Ali bin Abi Thalib ra, dan Utsman bin Affan ra.
Hanya saja kaum muslimin pada waktu itu mensyaratkan agar khalifah
sepeninggalan Umar menetapi aturan-aturan (hukum Syar’i hasil ijtidah) yang
ditetapkan oileh dua khalifah sebelumnya, yakni Abu Bakar Shiddiq ra dan
khalifah Umar ra.
Oleh karena
itu, ketika Abdurrahman bin Auf ra menyampaikan ijaab dalam akad khilafah
kepada Ali menyebut syarat tersebut. Namun Ali tidak mengabulkannya (tidak
memberi qabuul). Ketika di-ijab-kan kepada Utsman, beliau mengabulkannya. Maka
jadilah akad khilafah (ijaab qabuul) dari ummat kepada Utsman bin Affan ra,
sehingga dia menjadi Khalifah setetah wafatnya Khalifah Umar bin Khaththab ra.
(Nizhamul Hukm fil Islam hal. 80)
3.
Mengangkat
Satu Khalifah Fardu Hukumnya Bagi Kaum Muslimin
Kewajiban
mengangkat seorang khalifah bagi seluruh kaum muslimin adalah harga mati yang
tak dapat ditawar lagi, mengingat suatu hadits yang diriwayatkan oleh Nafi dan
Umar ra yang berkata; Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda:
“Siapa siapa
yang melepas tangannya dari keta’atan kepada Allah, niscaya ia akan berjumpa
dengan Allah di hari qiyamat tanpa meliliki hujjah (alasan). Dan barang siapa
yang mati sedang di pundaknya tidak ada bai’at, maka matinya adalah seperti
mati jahiliyyah”.
Dalam hadits
diatas Rasulullah saw mewajibkan ada bai’at di pundak setiap muslimin agar
matinya seperti mati jahiliyyah, yakni manakala tidak ada khilafah yang menjadi
objek bai’at yang diberikan oleh kaum muslimin, maka siapapun diantara kaum
muslimin mati dalam keadaan berdosa lantaran tidak melaksanakan hukum yang
harus ditegakkan diantara kaum muslimin itu sendiri. Dosa itu baru gugur bagi
sebagaian kaum muslimyang telah berjuang untuk menegakkan khilifah, karena
mereka melaksanakan kewajiban, walaupun belum berhasil lantaran belum
memperoleh kecukupan mengingat ini termasuk fardlu
kifayah.
Adapun dalil
yang menegaskan bahwa khalifah itu harus satu orang adalah hadits yang
diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, bahwa Nabi saw bersabda;
“Aabila
dibai’at dua orang khalifah, maka bunuhlah ang terakhir dari keduanya”. (HR. Imam Muslim).
4.
Khalifah
adalah satu-satunya pihak yang berhak men-tabanni (mengadopsi) hukum-hukum
syara’ untuk diberlakukan sebagai undang-undang.
Berdasarkan
ijma sahabat, bahwa khalifahlah yang berhak men-tabanni hukum-hukum syar’I guna
ditetapkan sebagai undang-undang untuk dilaksanakan dalam kehidupan
barmasyarakat dan bernegara.
Hal ini
dimaksudkan untuk perkara-perkara yang hukumnya tidak qath’i; memungkinkan
berbagai penafsiran hukum dari para fuqaha atau mujtahidin. Sehingga dengan
penetapan tersebut dalam prakteknya tidak menimbulkan perselisihan, karena
sudah ditetapkan dalam undang-undang, termasuk dalam perkara ini adalah
masalah-masalah mubah yang kewenangan untuk mengaturnya diserahkan oleh
syari’at Islam kepada seorang khalifah.
Ijma’ sahabat
ini diambil dari kaidah ushul fiqh;
“Amrul-imaami
yurfa’ulkhilaafi”, yang artinya: perintah imam (khalifah) menghilangkan
perselisihan (dikalangan fuqaha)
Juga kaidah
yang mengatakan “amrul-imaami naafidz”: perintah imam (khalifah) berlaku bagi
rakyat.
0 komentar:
Post a Comment