Wednesday, February 12, 2014

Sistem Pemerintahan Islam Menurut al-Qur'an dan Assunnah

Oleh: A. Malik AS (Kg Malik)
Islam adalah sistem, aturan hidup dan kehidupan yang benar (dinul haq). Islam mengatur seluluh kehidupan manusia. Islam pun membawa hukum-hukum tentang aqidah dan ibadah agar manusia membawa hukum-hukum tentang makan, minum, pakaian dan akhlaq agar manusia tertib dalam mengkonsumsi makanan tubuhnya, dan tertib pula dalam menyempurnakan penampilannya dengan sifat-sifat terpuji dan mulia (akhlakul karimah).

Dalam mengatur hubungan pribadi manusia dengan pribadi-pribadi yang lain , Islam membawa hukum-hukum tentang mu’amalat dan uqubat agar manusia tertib dalam melakukan interaksi sesama manusia dalam bidang ekonomi maupun sosial, saling ridlo dan tidak menzhalimi satu sama lain.

Oleh karenanya, pantaslah bahwa Allahg SWT menyebut kesempurnaan agama ini sebagai nikmat yang dikaruniakan oleh-Nya.

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian sestem (aturan hidup) kalian dan telah Kucukupkan kepada kalian ni’mat Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi aturan hidup kalian” (QS. Al-Maidah:3)

Juga Allah SAWT menyebut risalah pandangan hidup dan hukum yang dibawa oleh Rasulullah sa, sebagai rahmat-Nya untuk sekalian alam

Dan tidaklah Kami mengutus kaamu (Muhammad) untuk (menjadi) rahmat (kasih sayang) bagi semesta alam” (QS . al-Anbiya: 107)

Dan alQur’an sebagai obat penawar bagi berbagai penyakit yang muncul dalam kehidupan makhluk manusia. Baik dalam kesendiriannya maupun dalam interaksinya dengan sesama. Juga secara khusus disebut  sebagai rahmat bagi orang-orang yang membenarkannya atau mengimaninya. Allah SWT berfirman:

Dan Kami turunkan dari (isi kandungan) alQur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Al-Isra: 82)

Untuk menerapkan dan menjalankan seluruh aturan Ilahi tersebut, dan menjaga agar kehidupan masyarakat senantiasa dalam koridor perintah dan larangan Allah SWT, Islam mensyari’atkan ‘negara’ yang telah dicontohkan dalam sunnah Nabi Muhammad saw dan para khulapaaurraasyidiin sepeninggalan Beliau saw. Negaralah yang memutuskan perkara perselisihan yang terjadi dalam interaksi antara individu di masyarakat dengan hukum yang diturunkan Allah SWT.

Allah berfirman;
Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa (hukum, aturan, ketetapan) yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu”. (QS. Al-Maidah; 48).
Serian (khitab) untuk memutuskan perkara dengan menggunakan hukum Allah SWT (syari’at Islam) dalam ayat tersebut adalah untuk Rasulullah saw. Menurut kaidah syara’, “seruan untuk Rasul itu pada dasarnya adalah seruan untuk ummatnya juga, selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa seruan itu ditunjukkan khusus untuk beliau saw.

Dalam ayat tersebut tidak ada qarinah (pertanda) yang menghususkan bahwa firman Allah SWT dalam ayat itu khusus untuk Rasulullah saw. Oleh karenanya, tuntutan tresebut berlaku bagi seluruh kaum muslim, sehingga menjadi kewajiban untuk mendirikan pemerintahan untuk memutuskan berbagai perkara perselisihan di masyarakat dengan hukum syari’at Islam (an-Nabhani  dalam Sistem Khilafah hal 2).

Nabi Muhammad saw juga menegaskan bahwa setelah beliau wafat, tampuk pemerintahan dan daulah Islamiyah yang beliau dirikan di kota Madinah adalah dipeghang oleh para khalifah pengganti beliau saw.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abi Hazim bahwa dia pernah mendengar Abu Hurairah ra mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw, bersabda;

Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, diganti oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi lagi sesudahku. (Tetap) nanti akan ada banyak khalifah”. (HR. Imam Muslim).

Pilar-pilar Sistem Pemerintahan Islam

Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, dalam kitabnya Nizhamul Hukm Fil Islam  hal 38, ada empat pilar dalam sistem pemerintahan islam

1.       Kedaulatan ditangan syara’
2.       Kekuasaan ditangan ummat
3.       Mengangkat satu khalifah, bagi seluruh kaum muslim, hukumnya wajib
4.       Khalifah adalah satu-satunya pihak yang berhak mentabanni (mengadopsi) hukum-hukum syara’ untuk diberlakukan sebagai undang-undang.

1.       Kedaulatan ditangan syara’

Sistem pemerintahan Islam sangat berbeda dengan sistem demokrasi dan sistem-sistem lain diluar ajaran Islam. Dalam Islam, kedaulatan (siyaddah) ditangan syara’; yakni yang berhak menentukan penilaian baik buruk, benar salah, halal haram atau wajib tidaknya sesuatu dikerjakan atau terlarang, adalah hukum syara (syari’at Allah) saja. Akal kebiasaan, tradisi maupun adat-istiadat, apalagi hawa nafsu, tidaklah berhak untuk ikut menentukan penilaian baik  buruk atau boleh tidaknya suatu tindakan atau perbuatan dikerjakan.

Dalam QS. An-Nisa: 65 Allah berfirman;

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.

Hai orang-orang yang (mengaku diri) beriman, ta’atlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, juga terhadap ulil amri diantara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu (urusan), maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)*, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itulah lebih utama (bagi kalian) an lebih baik akibatnya”. (QS. An-Nisa: 59)

*yakni kepada syara’. Oleh karenanya, yang berkuasa di tengah-tengah ummat dan individu warga negara dan mengendalikan aspirasi seluruh warga adalah syari’at yang dibawa Rasulullah saw dimana ummat serta siapapun warga tunduk kepada hukum-hukum syara’. Oleh karena itu Kedaulatan ada di tangan Syara’.

2.       Kekuasaan ditangan ummat

Dalam sistem pemerintahan Islam, seorang khalifah memperoleh keduddukan dan kekuasaan setelah dibai’at oleh ummat. Dalil bahwa syara’ telah menjadikan pengangkatan khalifah oleh ummat sangatlah tegas dalam hadits-hadits tentang bai’at. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Ubadah bin As-Shamit, yang berkata:

Kami telah membai’at Rasulullah saw untuk setia mendengarkan dan menta’ati perintahnya baik dalam keadaan susah maupun mudah, baik dalam keadaan yang kami senangi maupun tidak kami senangi”. (HR. Muslim).

Juga sebuah hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda:

Ada tiga orang yang pada hari kiamat nanti Allah SWT tidak akan mengajaknya berbicara dan tidak akan mensucikannya… dan seseorang yang membai’at seorang imam (khalifah) lantaran ada maksud duniawi. Jika kalifah itu memberikan apa yang dia inginkan, ia tetap setia memenuhi bai’atnya. Namun bila apa yang diinginkan tidak diperolehnya, dia tidak lagi setia memenuhi bai’atnya”. (HR. Imam Bukhari dan Muslim)

Jadi, bai’atlah satu satunya metode perpindahan kekuasaan dari ummat ke khalifah.

Tidak penting proses dan prosedur teknis menuju perbai’atan tersebut, apakah melalui pemilu seperti yang kita kenal sekarang ini, untuk mengambil suara seluruh kaum muslimin, pemilihan oleh para anggota majlis ummat yasng merupakan representasi ummat, ataukah oleh sekelompok tokoh ummat yang terpercaya (ahlul haali wal aqdi).  Sedangkan yang mengesahkannya pada jabatan khalifah itu adalah ijab qabul dalam akad khalifah, dimana ummat memberikan kekuasaan dan kesetiaan (ijab) dengan ridha dan tanpa ada paksaan, dan dia (yang dijadikan khalifah) pun menerimanya (qabul) secara sukarela.

Bai’at yang deiberikan dengan sukarela oleh ummat inilah yang secara esensial menunjukkan bahwa kekuasaan (assulthan/authority) ditangan ummat.

Salah satu contoh, saat pergantian khalifah dari Umar bin Khaththab ra, yang telah wafat kepada khalifah Utsman bin Affan ra. Panitia pemilihan khalifah; Abdurrahmnan bin Auf ra mendapatkan mayoritas suara penduduk kota Madinah (ibukota khilafah Islamiyyah) cenderung kepada Ali bin Abi Thalib ra, dan Utsman bin Affan ra. Hanya saja kaum muslimin pada waktu itu mensyaratkan agar khalifah sepeninggalan Umar menetapi aturan-aturan (hukum Syar’i hasil ijtidah) yang ditetapkan oileh dua khalifah sebelumnya, yakni Abu Bakar Shiddiq ra dan khalifah Umar ra.

Oleh karena itu, ketika Abdurrahman bin Auf ra menyampaikan ijaab dalam akad khilafah kepada Ali menyebut syarat tersebut. Namun Ali tidak mengabulkannya (tidak memberi qabuul). Ketika di-ijab-kan kepada Utsman, beliau mengabulkannya. Maka jadilah akad khilafah (ijaab qabuul) dari ummat kepada Utsman bin Affan ra, sehingga dia menjadi Khalifah setetah wafatnya Khalifah Umar bin Khaththab ra. (Nizhamul Hukm fil Islam hal. 80)

3.       Mengangkat Satu Khalifah Fardu Hukumnya Bagi Kaum Muslimin

Kewajiban mengangkat seorang khalifah bagi seluruh kaum muslimin adalah harga mati yang tak dapat ditawar lagi, mengingat suatu hadits yang diriwayatkan oleh Nafi dan Umar ra yang berkata; Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda:

Siapa siapa yang melepas tangannya dari keta’atan kepada Allah, niscaya ia akan berjumpa dengan Allah di hari qiyamat tanpa meliliki hujjah (alasan). Dan barang siapa yang mati sedang di pundaknya tidak ada bai’at, maka matinya adalah seperti mati jahiliyyah”.

Dalam hadits diatas Rasulullah saw mewajibkan ada bai’at di pundak setiap muslimin agar matinya seperti mati jahiliyyah, yakni manakala tidak ada khilafah yang menjadi objek bai’at yang diberikan oleh kaum muslimin, maka siapapun diantara kaum muslimin mati dalam keadaan berdosa lantaran tidak melaksanakan hukum yang harus ditegakkan diantara kaum muslimin itu sendiri. Dosa itu baru gugur bagi sebagaian kaum muslimyang telah berjuang untuk menegakkan khilifah, karena mereka melaksanakan kewajiban, walaupun belum berhasil lantaran belum memperoleh kecukupan mengingat ini termasuk fardlu kifayah.

Adapun dalil yang menegaskan bahwa khalifah itu harus satu orang adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, bahwa Nabi saw bersabda;

Aabila dibai’at dua orang khalifah, maka bunuhlah ang terakhir dari keduanya”. (HR. Imam Muslim).

4.       Khalifah adalah satu-satunya pihak yang berhak men-tabanni (mengadopsi) hukum-hukum syara’ untuk diberlakukan sebagai undang-undang.

Berdasarkan ijma sahabat, bahwa khalifahlah yang berhak men-tabanni hukum-hukum syar’I guna ditetapkan sebagai undang-undang untuk dilaksanakan dalam kehidupan barmasyarakat dan bernegara.
Hal ini dimaksudkan untuk perkara-perkara yang hukumnya tidak qath’i; memungkinkan berbagai penafsiran hukum dari para fuqaha atau mujtahidin. Sehingga dengan penetapan tersebut dalam prakteknya tidak menimbulkan perselisihan, karena sudah ditetapkan dalam undang-undang, termasuk dalam perkara ini adalah masalah-masalah mubah yang kewenangan untuk mengaturnya diserahkan oleh syari’at Islam kepada seorang khalifah.

Ijma’ sahabat ini diambil dari kaidah ushul fiqh;
“Amrul-imaami yurfa’ulkhilaafi”, yang artinya: perintah imam (khalifah) menghilangkan perselisihan (dikalangan fuqaha)

Juga kaidah yang mengatakan “amrul-imaami naafidz”: perintah imam (khalifah) berlaku bagi rakyat.  

0 komentar:

Post a Comment